LUBUKLINGGAU-Seorang anak berangsur-angsur akan tumbuh semakin dewasa. Selain fisik, terjadi pula perubahan sifat yakni tidak mau membuka diri, artinya mereka tidak suka mengungkapkan masalahnya.
Pada saat inilah diperlukan pendekatan khusus untuk tetap menjaga hubungan dengannya. Orang tua pun selayaknya beradaptasi dengan perubahan tersebut, untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak. Sering kali orang tua melakukan kesalahan dalam membina hubungan dengan anak. Seperti dikatakan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Lubuklinggau, Astuti Karya Dewi.
Menurutnya, tidak sedikit orang tua yang melakukan pendekatan klasik kepada anaknya. Caranya tidak menggurui atau menyalahkan. Sebaiknya, orangtua bersikap layaknya teman mereka. Wanita yang akrab disapa Dewi itu melanjutkan, membesarkan remaja dengan selalu mencekokinya dengan pemikiran-pemikiran negatif, malah berpeluang besar mereka akan terjatuh pada lubang yang semua orang tua takuti.
Akan sangat dikhawatirkan, orang tua yang selalu mengingatkan anaknya untuk tidak terlibat pada tindakan berisiko, beberapa tahun kemudian malah mendapati remaja mereka terlibat pada tindakan tersebut. Oleh sebab itu Dewi meminta para orangtua untuk memfokuskan diri pada hobi dan minat yang dimiliki anak-anak mereka.
”Meskipun orang tua tidak mengerti hobi yang mereka jalani, dengan demikian orang tua dapat membuka jalan untuk berkomunikasi dengan berhubungan dengan dunianya,” kata Dewi.
Orangtua dari hal 11
Hal ini, tukasnya, dapat membawa kembali hubungan hangat antara orangtua dan anak. Orangtua sekaligus dapat mempelajari hal-hal baru seputar hobi dan minat yang tengah digemari anaknya.
Memang, untuk membesarkan anak di tengah perkembangan global seperti sekarang ini, dibutuhkan strategi tertentu. Banyak pula orangtua yang akhirnya berpaling pada buku pola pengasuhan anak, dibandingkan menggunakan insting mereka dalam menghadapi buah hatinya.
Banyaknya keterlibatan anak pada pergaulan bebas, tindakan negative, dan aksi yang termasuk dalam kenakalan remaja harusnya dapat lebih membuka mata orang tua untuk mengintrospeksi diri. Orangtua seharusnya meluangkan waktu ekstra untuk berbicara dengan pasangan ataupun anak, guna mendapatkan titik terang mengenai apa yang paling penting dalam kehidupan keluarga. Berbicara dari hati ke hati, dan terus menjalani komunikasi di antara anggota keluarga, menjadikan hubungan anak dan orangtua pun semakin tidak berjarak.
Kesalahan lain yang kerap dilakukan orangtua adalah terlalu sering meributi hal-hal yang kecil. Banyak juga orangtua yang terang-terangan mengaku kecewa di hadapan anak jika dia gagal berprestasi dalam satu bidang, meskipun sang anak telah mengerahkan segenap kemampuan.
Menjaga anak terhadap realita kehidupan yang nyata, membuat dia kehilangan kesempatan untuk merasakan kegagalan atau mempelajari kesalahan, maupun mengambil kesempatan yang mungkin datang di lain waktu.
Biarkan saja anak merasakan pahitnya kegagalan, dan di lain waktu menikmati manisnya keberhasilan dan kerja keras. Dengan begitu, dia baru merasakan warna-warna kehidupan dan menarik hikmah dari pengalamannya.
Ia menyarankan, agar orangtua harus sigap bertindak manakala mereka mencurigai anaknya melakukan tindakan menyimpang. Rentang usia antara 13–18 tahun merupakan waktu yang tepat bagi orangtua untuk terus mengikuti perkembangan anak. Hal ini tentunya dilandasi pada pengalaman orang tua sendiri sewaktu muda dahulu.
Dewi menyarankan orangtua untuk selalu mengawasi perubahan dalam diri anak, seperti penampilan, prestasi, kinerja, dan teman sepermainan yang baru. (08)
Pada saat inilah diperlukan pendekatan khusus untuk tetap menjaga hubungan dengannya. Orang tua pun selayaknya beradaptasi dengan perubahan tersebut, untuk menyesuaikan dengan perkembangan anak. Sering kali orang tua melakukan kesalahan dalam membina hubungan dengan anak. Seperti dikatakan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kota Lubuklinggau, Astuti Karya Dewi.
Menurutnya, tidak sedikit orang tua yang melakukan pendekatan klasik kepada anaknya. Caranya tidak menggurui atau menyalahkan. Sebaiknya, orangtua bersikap layaknya teman mereka. Wanita yang akrab disapa Dewi itu melanjutkan, membesarkan remaja dengan selalu mencekokinya dengan pemikiran-pemikiran negatif, malah berpeluang besar mereka akan terjatuh pada lubang yang semua orang tua takuti.
Akan sangat dikhawatirkan, orang tua yang selalu mengingatkan anaknya untuk tidak terlibat pada tindakan berisiko, beberapa tahun kemudian malah mendapati remaja mereka terlibat pada tindakan tersebut. Oleh sebab itu Dewi meminta para orangtua untuk memfokuskan diri pada hobi dan minat yang dimiliki anak-anak mereka.
”Meskipun orang tua tidak mengerti hobi yang mereka jalani, dengan demikian orang tua dapat membuka jalan untuk berkomunikasi dengan berhubungan dengan dunianya,” kata Dewi.
Orangtua dari hal 11
Hal ini, tukasnya, dapat membawa kembali hubungan hangat antara orangtua dan anak. Orangtua sekaligus dapat mempelajari hal-hal baru seputar hobi dan minat yang tengah digemari anaknya.
Memang, untuk membesarkan anak di tengah perkembangan global seperti sekarang ini, dibutuhkan strategi tertentu. Banyak pula orangtua yang akhirnya berpaling pada buku pola pengasuhan anak, dibandingkan menggunakan insting mereka dalam menghadapi buah hatinya.
Banyaknya keterlibatan anak pada pergaulan bebas, tindakan negative, dan aksi yang termasuk dalam kenakalan remaja harusnya dapat lebih membuka mata orang tua untuk mengintrospeksi diri. Orangtua seharusnya meluangkan waktu ekstra untuk berbicara dengan pasangan ataupun anak, guna mendapatkan titik terang mengenai apa yang paling penting dalam kehidupan keluarga. Berbicara dari hati ke hati, dan terus menjalani komunikasi di antara anggota keluarga, menjadikan hubungan anak dan orangtua pun semakin tidak berjarak.
Kesalahan lain yang kerap dilakukan orangtua adalah terlalu sering meributi hal-hal yang kecil. Banyak juga orangtua yang terang-terangan mengaku kecewa di hadapan anak jika dia gagal berprestasi dalam satu bidang, meskipun sang anak telah mengerahkan segenap kemampuan.
Menjaga anak terhadap realita kehidupan yang nyata, membuat dia kehilangan kesempatan untuk merasakan kegagalan atau mempelajari kesalahan, maupun mengambil kesempatan yang mungkin datang di lain waktu.
Biarkan saja anak merasakan pahitnya kegagalan, dan di lain waktu menikmati manisnya keberhasilan dan kerja keras. Dengan begitu, dia baru merasakan warna-warna kehidupan dan menarik hikmah dari pengalamannya.
Ia menyarankan, agar orangtua harus sigap bertindak manakala mereka mencurigai anaknya melakukan tindakan menyimpang. Rentang usia antara 13–18 tahun merupakan waktu yang tepat bagi orangtua untuk terus mengikuti perkembangan anak. Hal ini tentunya dilandasi pada pengalaman orang tua sendiri sewaktu muda dahulu.
Dewi menyarankan orangtua untuk selalu mengawasi perubahan dalam diri anak, seperti penampilan, prestasi, kinerja, dan teman sepermainan yang baru. (08)